Sulut1news.com, Manado - Di jantung setiap kantor berita, terdapat sebuah mezbah yang disebut ruang redaksi. Dahulu, kedaulatan tempat ini dipegang teguh oleh para redaktur senior yang berpedoman pada idealisme jurnalistik, nilai berita, dan kepentingan publik.
Namun, hari ini, di tengah gemuruh keyboard dan desingan server, muncul seorang penguasa baru yang tak terlihat, tak berwajah, tetapi memiliki otoritas absolut atas distribusi, visibilitas, dan bahkan konten: Algoritma.
Inilah kisah tentang pergeseran takhta yang senyap
Sebuah hegemoni digital di mana raksasa platform seperti Google dan Meta (dahulu Facebook) tidak hanya berperan sebagai pipa distribusi mereka telah menjelma menjadi “Redaktur Bayangan” yang secara fundamental menulis ulang aturan main jurnalisme di era siber.
Dominasi yang Tak Terhindarkan
Sejak awal milenium, lanskap konsumsi berita mengalami disrupsi total.
Pembaca tidak lagi mendatangi gerai koran atau mengakses laman utama media secara langsung; mereka disajikan berita melalui linimasa media sosial, hasil pencarian, atau fitur rekomendasi.
Bagi sebagian besar penerbit berita digital, ketergantungan terhadap trafik yang disalurkan oleh mesin-mesin pencari dan platform sosial sangatlah akut, sering kali mencapai angka 70 hingga 90 persen dari total kunjungan
Ketergantungan masif ini menciptakan dilema eksistensial..
Media massa, yang secara historis dibebani mandat untuk mencerdaskan bangsa, kini harus mengoptimalkan setiap judul, gambar, dan paragrafnya agar lolos kurasi sang algoritma.
Algoritma tidak peduli pada nilai etika atau kedalaman investigasi; ia hanya mengenali metrik: kecepatan, tingkat klik (CTR), durasi tinggal (Dwell Time), dan potensi monetisasi.
Inilah tekanan yang harus dihadapi oleh para pemimpin redaksi kontemporer.
Mereka tidak hanya berjuang melawan batas waktu atau kompetitor berita lain, tetapi juga bergulat dengan imperatif teknis yang selalu berubah.
Setiap perubahan kecil dalam logika kode Google atau Meta dapat berarti perbedaan antara kelangsungan hidup finansial dan keterpurukan drastis.
Kompromi di Meja Redaksi
Dampak paling nyata dari dominasi algoritma adalah erosi bertahap terhadap kualitas konten. Ketika distribusi adalah segalanya, dan algoritma menyukai viralitas, sensasionalisme menjadi mata uang yang paling bernilai.
Para jurnalis, yang idealnya didorong untuk menggali fakta-fakta yang rumit dan penting, kini didorong untuk memproduksi berita yang “menggugah emosi” atau yang memenuhi kriteria trending topic yang disodorkan oleh platform.
Editor, yang seharusnya menjadi filter terakhir etika dan akurasi, terpaksa berdiskusi mengenai penggunaan diksi yang lebih “mengundang klik” (clickbait) atau format video pendek yang lebih disukai oleh sistem rekomendasi.
(Ferry)