-->

Iklan

Ketika Jurnalis Digital Kelelahan, Krisis Sunyi di Balik Layar Berita

, Desember 18, 2025 WIB Last Updated 2025-12-18T18:52:23Z

Sulut1News.com
- Pukul dua dini hari, layar ponsel masih menyala. Notifikasi grup redaksi berdenting, disusul pesan singkat dari editor: “Ada perkembangan, tolong update sekarang.”

Bagi jurnalis media digital, situasi semacam ini bukan pengecualian, melainkan rutinitas.

Di era media siber, berita tidak lagi mengenal jam kerja. Peristiwa datang tanpa aba-aba, sementara publik menuntut kecepatan nyaris seketika. 

Dalam ritme itulah jurnalis digital bekerja terhubung terus-menerus, berpacu dengan waktu, dan kerap mengorbankan ruang jeda untuk dirinya sendiri.

Namun, di balik derasnya arus berita yang mengalir ke layar pembaca, tersimpan krisis yang jarang dibicarakan: kelelahan mental jurnalis digital.

Ruang Redaksi yang Tak Pernah Tidur

Transformasi digital telah mengubah wajah ruang redaksi secara mendasar. Jika dahulu redaksi adalah ruang fisik dengan jam kerja relatif jelas, kini ia berpindah ke ruang virtual yang tak pernah benar-benar tertutup.

Jurnalis media online bekerja dalam sistem bergilir, tetapi praktiknya, batas antara jam kerja dan waktu pribadi kerap kabur. Ponsel menjadi kantor berjalan.

 Laptop menjadi meja redaksi portabel. Bahkan saat libur, kewaspadaan terhadap kabar terbaru tetap menyala.

Kecepatan menjadi nilai utama. Setiap detik keterlambatan dapat berarti kehilangan pembaca, kehilangan momentum, bahkan kehilangan posisi di hasil pencarian. 

Tekanan ini membentuk ekosistem kerja yang intens, nyaris tanpa jeda.

Dalam jangka panjang, kondisi tersebut menggerus daya tahan mental.

Paparan Berita Buruk yang Tak Terhindarkan

Jurnalis digital hidup di tengah arus informasi yang padat, dan sebagian besar di antaranya adalah kabar buruk. Bencana alam, kecelakaan, konflik, kejahatan, hingga tragedi kemanusiaan menjadi konsumsi harian.

Untuk satu berita, jurnalis bisa berulang kali membaca laporan, menonton video, dan memeriksa foto yang sarat muatan emosional. 

Paparan ini tidak selalu disadari dampaknya, tetapi perlahan menumpuk menjadi beban psikologis.

Fenomena ini dikenal sebagai trauma sekunder ketika seseorang mengalami tekanan emosional akibat menyaksikan penderitaan orang lain secara terus-menerus, meski tidak berada langsung di lokasi kejadian.

Sayangnya, kesadaran akan risiko ini masih rendah di banyak redaksi media online.

Profesionalisme yang Menuntut Ketahanan Tanpa Batas

Dalam budaya jurnalistik, ketangguhan sering dipahami sebagai kemampuan untuk tetap bekerja dalam kondisi apa pun. 

Mengeluh dianggap tanda kelemahan. Berhenti sejenak sering dipersepsikan sebagai kurang komitmen.

Akibatnya, banyak jurnalis memilih memendam kelelahan emosionalnya. Stres, cemas, sulit tidur, hingga kehilangan motivasi dianggap sebagai bagian dari konsekuensi profesi.

Padahal, kesehatan mental bukan persoalan pribadi semata. Ia berkaitan langsung dengan kualitas kerja jurnalistik. 

Jurnalis yang kelelahan berisiko kehilangan kejernihan berpikir, empati, dan ketelitian tiga pilar utama dalam kerja pemberitaan.

Tekanan Algoritma dan Tirani Angka

Di media digital, berita tidak hanya dinilai dari kepentingan publik, tetapi juga dari performa di mesin pencari dan media sosial. Klik, tayangan, dan durasi baca menjadi indikator utama keberhasilan.

Tekanan ini menempatkan jurnalis pada dilema yang tidak sederhana. Di satu sisi, mereka dituntut menjaga kualitas dan etika. Di sisi lain, ada target trafik yang harus dipenuhi.

Ketika berita penting kalah pamor dari konten sensasional, frustrasi pun muncul. Jurnalis berada di antara idealisme dan realitas industri. 

Dalam jangka panjang, situasi ini dapat menimbulkan kelelahan mental yang bersifat kronis.

Algoritma bekerja tanpa empati. Ia tidak mengenal konteks sosial, nilai kemanusiaan, atau beban psikologis pekerja di balik layar.

Multiperan dan Beban yang Menumpuk

Efisiensi menjadi mantra utama media digital. Satu jurnalis kerap merangkap berbagai peran: mencari data, menulis berita, mengedit naskah, membuat judul ramah SEO, hingga membagikan tautan ke media sosial.

Multiperan ini menuntut kemampuan teknis yang luas dan adaptasi cepat. Namun, ia juga memperbesar beban kerja dan tekanan mental.

Waktu untuk refleksi semakin sempit. Kesempatan belajar secara mendalam kerap tergerus oleh target kuantitas.

Dalam kondisi seperti ini, risiko burnout kelelahan emosional, sinisme terhadap pekerjaan, dan penurunan produktivitas menjadi semakin nyata.

Kesepian di Tengah Konektivitas

Paradoks dunia digital adalah rasa sepi di tengah keterhubungan tanpa henti. Jurnalis berinteraksi dengan ribuan pembaca melalui layar, tetapi sering kehilangan interaksi manusiawi dengan rekan kerja.

Kerja jarak jauh mengurangi ruang diskusi informal, obrolan ringan, atau sekadar berbagi cerita usai liputan. 

Padahal, interaksi sosial di ruang redaksi berfungsi sebagai penyangga psikologis.

Tanpa dukungan sosial yang memadai, jurnalis dapat terjebak dalam isolasi emosional bekerja sendirian, memikul tekanan sendirian.

Peran Redaksi dalam Merawat Kesehatan Mental

Krisis kesehatan mental jurnalis tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan individual semata. Ia membutuhkan respons struktural dari institusi media.

Redaksi memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi. 

Pengaturan jam kerja yang realistis, rotasi liputan berat, hingga pengakuan terhadap beban emosional jurnalis adalah langkah awal yang krusial.

Selain itu, pelatihan kesadaran kesehatan mental dan akses terhadap bantuan profesional perlu dipandang sebagai investasi, bukan beban biaya.

Media yang sehat secara internal akan menghasilkan jurnalisme yang lebih berkualitas dan berintegritas.

Menata Ulang Makna Ketangguhan Jurnalis

Ketangguhan jurnalis di era digital tidak seharusnya dimaknai sebagai kemampuan untuk terus bekerja tanpa batas. 

Ketangguhan sejati justru terletak pada keberanian mengenali batas diri, meminta bantuan, dan merawat kesehatan mental.

Di tengah kecepatan dan tuntutan algoritma, jurnalis perlu ruang untuk berhenti sejenak, mencerna realitas, dan menjaga kejernihan nurani.

Tanpa itu, jurnalisme berisiko kehilangan ruhnya kepekaan terhadap manusia dan kebenaran.

Menjaga Mereka yang Menjaga Informasi

Publik membutuhkan jurnalis yang sehat secara mental agar fungsi pers berjalan optimal. 

Mengabaikan kesehatan mental jurnalis berarti mempertaruhkan kualitas informasi yang dikonsumsi masyarakat.

Krisis sunyi di balik layar berita ini menuntut perhatian bersama media, industri, dan publik. 

Merawat jurnalis bukan semata kepentingan internal redaksi, melainkan bagian dari menjaga ruang publik yang sehat.

Di garda depan digital, jurnalis bukan hanya pekerja media. Mereka adalah penjaga nalar publik. Dan para penjaga itu, pada akhirnya, juga perlu dijaga. ***
Komentar

Tampilkan

Terkini