Sulut1news.com, Teheran – Reza Pahlavi, putra mahkota Iran yang kini hidup di pengasingan, kembali menjadi sorotan internasional setelah melontarkan seruan tegas kepada rakyat Iran untuk merebut kembali kendali atas negara mereka. Melalui akun pribadinya di platform media sosial X, ia menuding Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, telah kehilangan legitimasi dan kendali terhadap pemerintahan.
"Rakyat Iran harus mengambil alih negara mereka," tulis Reza Pahlavi. "Kita tidak bisa membiarkan pemimpin yang kehilangan kendali terus mengatur hidup kita."
Seruan tersebut menjadi bagian dari gelombang kritik terhadap rezim Teheran yang dianggap semakin otoriter, represif, dan tidak mampu menjawab aspirasi rakyat.
Reza Pahlavi bukan sekadar figur oposisi biasa. Ia adalah anak dari Mohammad Reza Shah Pahlavi, raja terakhir dari Dinasti Pahlavi yang tumbang dalam Revolusi Islam 1979. Dinasti ini berkuasa sejak 1925, dimulai oleh Reza Shah Pahlavi, seorang mantan perwira militer yang menggulingkan Dinasti Qajar dan memulai proses modernisasi besar-besaran di Iran.
Meski banyak membawa kemajuan dalam bidang infrastruktur, pendidikan, dan militer, Dinasti Pahlavi juga dikenal dengan gaya pemerintahannya yang otoriter. Ketidakpuasan rakyat terhadap ketimpangan dan represi menjadi benih revolusi yang kemudian meledak di akhir dekade 70-an.
Sejarah Dinasti Pahlavi juga sarat kontroversi. Mohammad Reza Shah sempat terusir dari Iran pada tahun 1953 akibat ketegangan politik dengan Perdana Menteri Mohammad Mosaddeq, sosok nasionalis yang ingin menasionalisasi industri minyak Iran.
Namun, kudeta yang dirancang oleh badan intelijen Inggris (MI6) dan Amerika Serikat (CIA) membalik keadaan. Shah kembali berkuasa, membatalkan reformasi Mosaddeq, dan mempererat hubungan dengan Barat—terutama dalam hal kerja sama energi dan pertahanan. Namun kedekatan ini juga menambah kecurigaan dan kemarahan rakyat, yang pada akhirnya memuncak dalam revolusi 1979.
Kini, setelah lebih dari empat dekade pascarevolusi, gelombang ketidakpuasan terhadap rezim Republik Islam Iran kembali menguat. Krisis ekonomi, pembatasan kebebasan sipil, serta represi terhadap suara-suara oposisi memicu gerakan akar rumput yang menuntut perubahan.
Reza Pahlavi mencoba memosisikan dirinya sebagai simbol alternatif bagi masa depan Iran—bukan untuk mengembalikan monarki, tetapi mendorong transisi menuju sistem pemerintahan yang demokratis dan inklusif.
“Ini bukan tentang saya, ini tentang Iran yang lebih baik. Negara ini milik rakyat, bukan milik seorang pemimpin seumur hidup,” tegas Pahlavi dalam pernyataan terbarunya.
Seruan Reza Pahlavi tentu tidak serta-merta akan mengubah arah sejarah. Namun, di tengah krisis kepercayaan terhadap elite Teheran, pesannya menggema di kalangan diaspora Iran maupun generasi muda dalam negeri yang mendambakan kebebasan.
Apakah rakyat Iran akan menjawab panggilan perubahan? Ataukah mereka akan tetap bergulat dalam cengkeraman status quo?
Satu hal yang pasti: masa depan Iran kembali berada di persimpangan jalan.
Redaksi Sulut1News
0 Komentar