Sulut1news.com, Jakarta - 17 Juni 2025 – Perang yang meletus antara Israel dan Iran pada Jumat (13/6) lalu telah memberikan pukulan telak bagi ekonomi global. Lonjakan harga minyak mentah yang tajam dan ancaman gangguan pasokan energi dunia menjadi pertanda dampak konflik ini meluas jauh melampaui medan pertempuran.
Menteri Keuangan Republik Indonesia (Menkeu RI), Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan kekhawatiran mendalamnya atas eskalasi konflik di Timur Tengah. Dalam konferensi pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan Jakarta, Selasa (17/6), beliau menyatakan, "Pecahnya perang ini menyebabkan harga minyak langsung melonjak lebih dari 8 persen dalam sehari. Harga minyak Brent yang sebelumnya berada di bawah US$70 per barel, bahkan sempat mencapai US$78 per barel – naik hampir 9 persen – sebelum terkoreksi sedikit ke angka US$75 per barel."
Kenaikan harga minyak ini, menurut Sri Mulyani, bukanlah sekadar fluktuasi pasar komoditas biasa. Dampaknya bersifat domino, mengancam berbagai aspek perekonomian global, mulai dari inflasi yang meroket, pelemahan nilai tukar mata uang, kenaikan suku bunga, hingga potensi balik modal dari negara berkembang. "Geopolitik yang semakin memanas inilah yang terus akan kita hadapi," tegasnya.
Kekhawatiran serupa disampaikan oleh ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi. Beliau menilai perang Iran-Israel telah mengguncang fondasi ekonomi global, dan Indonesia tak bisa mengabaikan dampaknya. "Jika Selat Hormuz terancam blokade, harga minyak bisa langsung melesat di atas US$100 per barel. Ini bukan sekadar lonjakan, melainkan alarm bahaya bagi negara importir energi seperti Indonesia," ujar Syafruddin.
Lebih lanjut, Syafruddin menjelaskan bahwa lonjakan harga minyak akan menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui subsidi energi, memperlebar defisit transaksi berjalan, dan mendorong inflasi. "Pemerintah dihadapkan pada dilema: menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau menanggung pembengkakan subsidi yang menggerus anggaran pembangunan," tambahnya.
Pandangan senada diungkapkan oleh Irfan Ardhani, pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Beliau menekankan bahwa dampak langsung perang ini adalah lonjakan harga minyak dunia. "Negara-negara eksportir minyak akan diuntungkan, sementara negara importir akan dirugikan. Skenario terburuk adalah jika eskalasi konflik mengganggu pasokan minyak melalui Selat Hormuz. Mengingat 20 persen minyak dunia melewati selat tersebut, skenario ini akan berdampak sistemik pada perekonomian global," jelas Irfan.
Situasi ini menuntut kewaspadaan dan langkah antisipatif dari pemerintah Indonesia untuk meminimalisir dampak negatif terhadap perekonomian nasional. Pemerintah perlu mempersiapkan strategi yang komprehensif untuk menghadapi potensi krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh konflik ini.
Redaksi Sulut1News
0 Komentar