Sulut1news.com, Jakarta – Dalam dua bulan pertama tahun 2025, setoran pajak yang masuk ke kas negara hanya mencapai Rp187,8 triliun, mengalami kontraksi tajam sebesar 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencatatkan Rp269,02 triliun. Penurunan tajam ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi Indonesia yang tengah menghadapi tantangan berat.
Anjloknya penerimaan pajak negara dapat berdampak luas terhadap perekonomian, termasuk sektor perbankan. Para bankir pun menyoroti potensi dampaknya terhadap kegiatan usaha bank, mulai dari peningkatan risiko kredit hingga kenaikan suku bunga.
Risiko Gagal Bayar dan Pengetatan Likuiditas
Direktur Kepatuhan Bank Oke Indonesia (DNAR), Efdinal Alamsyah, mengungkapkan bahwa penurunan penerimaan pajak sering kali menjadi indikator perlambatan ekonomi. Jika ekonomi melemah, pendapatan masyarakat dan profitabilitas bisnis juga berisiko turun, yang dapat meningkatkan potensi gagal bayar kredit.
"Selain itu, jika pemerintah mengalami defisit anggaran akibat penurunan penerimaan pajak, mereka mungkin meningkatkan penerbitan surat utang untuk menutupi kekurangan tersebut. Ini bisa menyerap likuiditas dari pasar keuangan, sehingga mengurangi ketersediaan dana bagi bank untuk disalurkan sebagai kredit," ujar Efdinal saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (14/3/2025).
Menurutnya, kondisi ini berpotensi menyebabkan kenaikan suku bunga di pasar, yang kemudian dapat meningkatkan biaya dana bagi bank. Akibatnya, bank kemungkinan harus menaikkan suku bunga kredit, yang bisa menekan permintaan kredit dari dunia usaha.
"Untuk mengatasi situasi ini, diperlukan pelonggaran kebijakan moneter, seperti penurunan suku bunga acuan atau pemberian fasilitas likuiditas kepada bank, seperti yang telah dilakukan Bank Indonesia dengan Kredit Likuiditas Makroprudensial (KLM). Ini penting untuk memastikan ketersediaan dana bagi perbankan dan menjaga stabilitas penyaluran kredit," jelasnya.
Efdinal juga menekankan pentingnya stimulus fiskal yang tepat sasaran untuk sektor-sektor terdampak guna menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kepercayaan pelaku usaha.
Bank Fokus ke Segmen UKM
Sementara itu, Presiden Direktur Bank CIMB Niaga (BNGA), Lani Darmawan, menilai dampak dari penurunan penerimaan pajak terhadap perbankan tidak bersifat langsung. Namun, ia mengakui bahwa keadaan ini dapat mencerminkan pelemahan pendapatan dunia usaha.
"Saya rasa dampaknya terhadap perbankan tidak secara langsung. Namun, kita perlu melihat apakah memang pendapatan dunia usaha juga melemah sehingga pajak yang dibayarkan ikut turun, sejalan dengan kondisi ekonomi," ujarnya.
Meski demikian, Lani memastikan bahwa CIMB Niaga akan tetap fokus menggarap segmen Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang memiliki potensi usaha berkelanjutan meskipun dalam kondisi ekonomi yang menantang.
Bank Perlu Waspadai Risiko Ekspansi Kredit
Senada, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, menilai bahwa penurunan penerimaan pajak tidak memiliki hubungan langsung dengan fungsi intermediasi bank. Namun, ia mengingatkan bahwa faktor-faktor seperti relaksasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), penyesuaian tarif pajak, dan penurunan pendapatan dari sektor komoditas bisa menjadi penyebab anjloknya penerimaan pajak.
"Hal ini tetap perlu menjadi perhatian bagi bank, terutama ketika mereka berencana melakukan ekspansi kredit. Bank harus lebih selektif dan berhati-hati dalam memberikan pinjaman, khususnya ke sektor-sektor yang sedang mengalami penurunan pendapatan," pungkasnya.
Kesimpulan
Anjloknya setoran pajak di awal tahun ini menjadi sinyal waspada bagi perekonomian Indonesia. Jika tren ini berlanjut, bukan hanya APBN yang tertekan, tetapi juga sektor keuangan, terutama perbankan, yang harus menghadapi potensi meningkatnya risiko kredit dan likuiditas yang mengetat. Oleh karena itu, kebijakan fiskal dan moneter yang tepat diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sektor keuangan dalam menghadapi tantangan ini.
Redaksi Sulut1news.com
0 Komentar